v ERA SEBELUM TAHUN 1955
Tidak ada informasi yang secara
eksplisit dapat dijadikan patokan sejarah siapa yang membangun gereja di depan
Polres, Jl. Jaksa Agung Suprapto, No. 43 Ngawi. Fakta menunjukkan bahwa
bangunan gedung gereja itu sudah ada dan digunakan sebagai tempat ibadah bagi
umat Katolik pada zaman itu. Menilik dari sisi bangunan menunjukkan secara
jelas bahwa gedung gereja tersebut merupakan peninggalan pada zaman Belanda
yang digunakan untuk melakukan pelayanan rohani bagi orang-orang zaman itu.
Foto
gereja lama yang saat ini menjadi Balai Paroki
v ERA 1955 - 1971
PERJUANGAN
DALAM MEWUJUDKAN PAROKI
Pada tahun 1955, menjelang petang seorang Pastor
dari Madiun bernama Pastor Andre van Rijnsoever, CM datang ke Ngawi bersama
seorang pemuda bernama Sanen, berusia ± 16 tahun, agama Islam berasal dari Desa
Ngrangkok, Wonogiri. Kedatangannya dengan menggunakan truk yang memuat
bahan-bahan bangunan, antara lain: beberapa sak semen, beberapa kaleng cat dan
beberapa potong kayu. Oleh Pastor Andre van Rijnsoever, CM, pemuda tersebut
diberi tugas dan tanggungjawab untuk mengelola gedung gereja yang berada di Jl.
Jaksa Agung Suprapto No. 43 persisnya di depan Polres Ngawi. Hingga buku ini
ditulis tata letak bangunan, bentuk (presis) bangunan masih asli (belum ada
perubahan). Pada saat Pastor Andre van Rijnsoever datang di Ngawi, lokasi
sekitar gereja yang sudah tidak lagi digunakan tersebut seperti hutan
belantara, penuh dengan ilalang dan semak belukar. Karena rimbunnya lahan
tersebut, maka tak seorang pun berani merambah apalagi memasuki area tersebut.
Konon, menurut cerita lahan belakang gereja yang berdampingan dengan rumah
dinas Dandim Ngawi adalah tempat pembantaian bagi orang-orang Belanda pada
zaman penjajahan Jepang. Dengan sabar dan penuh ketekunan Sanen muda sedikit
demi sedikit membersihkan ilalang yang tumbuh liar, menebangi pohon-pohon
lamtoro dan membawa potongan-potongan kayu lamtoro ke rumah eyang Rusni untuk
digunakan sebagai kayu bakar. Oleh Pastor Rijnsoever pemuda bernama Sanen
tersebut “dititipkan” untuk tinggal di rumah keluarga eyang Rusni. Setiap hari
Sanen bekerja membersihkan lahan dan areal gedung gereja. Perbaikan bangunan
pun mulai dilakukan antara lain dengan pembetulan bagian bangunan yang sudah
rusak, pengecatan tembok gedung maupun pagar, dan pemasangan lampu. Berkat
perbaikan bangunan itu, maka mulai tampaklah wajah gereja yang sudah lama
ditinggalkan. Setelah tertata agak rapi, peralatan ibadat yang dititipkan di
salah satu umat katolik yaitu Tante Ing, diambil dan diletakkan di gereja.Pada
tahun yang sama, Pastor Rijnsoever berupaya mendirikan Sekolah Menengah Pertama
Katolik (SMP K). Gedung gereja disekat-sekat untuk dijadikan kelas-kelas. Pada
tahun pertama jumlah siswa ± 104 siswa dari tiga kelas yang ada pada waktu itu.
Dari Sekolah Menengah Pertama itulah kemudian sedikit demi sedikit ada yang
tertarik untuk menjadi Katolik dan memberi diri dibaptis. Pada 15 Agustus 1956,
Pastor Andre van Rijnsoever, CM, membaptis pemuda bernama Sanen, ditambah
pasutri Rusni dan mbah Ginah di gereja tersebut.
Waktu terus berjalan. Seiring berjalannya sang waktu bertambah pulalah jumlah siswa yang bersekolah di SMP Katolik Ngawi. Karena jumlah siswa terus meningkat, maka Pastor Andre van Rijnsoever, CM, membangun kelas baru di lahan milik tuan Janssen yang sudah diwakafkan ke Yayasan Katolik.Albertus Sanen, selain sebagai koster untuk mempersiapkan misa sebulan sekali, juga bertugas sebagai tukang kebun sekolah dan pesuruh. Desember tahun 1968, umat Ngawi sudah merayakan Kelahiran Tuhan Yesus di gereja. Satu bukti yang menunjukkan bahwa umat waktu itu bergembira menyambut Juru Selamat yang lahir ke dunia.
Pada tahun 1969 Pastor Filippo Catini, CM, menetap di gereja untuk menggembalakan umat Ngawi. Dengan hadirnya Pastor Filippo Catini dan dibantu oleh seorang katekis bernama bapak Y.V. Soekojo pelayanan rohani bagi umat Katolik Ngawi menjadi semakin lebih baik. Pelayanan misa yang biasanya satu bulan sekali berubah menjadi setiap minggu. Selain melayani umat di Ngawi, pastor Filippo Catini, CM dan bapak Soekojo juga melayani umat di stasi-stasi. Pada 9 Juni 1969, Uskup Surabaya Mgr. Johanes Klooster, CM, berkenan memberikan Sakramen Penguatan. Berikut ada beberapa foto yang menunjukkan bahwa di Ngawi pada tahun itu ada penerimaan Sakramen Penguatan.
Pada Jumat 1 Januari 1971, umat Katolik Stasi Ngawi merasakan kegembiraan yang luar biasa, karena pada hari dan tanggal tersebut Stasi Ngawi menjadi Paroki. Pastor Kepala Paroki yang pertama adalah Pastor Filippo Catini, CM. Beberapa foto yang menunjukkan bahwa pada tahun tersebut stasi Ngawi meningkat menjadi Paroki.
Pada 1 Mei 1971, Gereja Katolik Ngawi memutuskan untuk mengambil pelindung St. Yosef Pelindung Pekerja. Saat itu pastor Kepala Paroki mengumunkan bahwa Gereja Katolik Ngawi berlindung pada St. Yosef Pelindung Pekerja (sampai sekarang). Satu tahun setelah ditetapkan menjadi Paroki, ada satu gerak langkah antara umat bersama pastor Kepala Paroki untuk semakin mendewasakan iman Gereja. Pada tanggal 10-12 November 1972, segenap pamong stasi se-Paroki Ngawi mengadakan pembaruan atau “Up-Grading” guna memperbaiki susunan pengurus yang akan menjalankan roda perputaran kehidupan menggereja. Berikut Foto “Up-Grading” Pamong stasi se Paroki St. Yosef Ngawi.
Satu tahun kemudian, tepatnya pada 25 Februari
1973 Pastor Fulvio Amici, CM mendapat tugas perutusan untuk menggembalakan umat
Paroki St. Yosef Ngawi menggantikan Pastor Filippo Catini, CM. Karena umat
terus bertambah dan gereja lama tidak mampu lagi menampung jumlah umat, maka
dibutuhkan gedung gereja yang baru dan lebih luas. Oleh sebab itu pada Bulan
Oktober Pastor Fulvio Amici, CM bersama dengan umat Paroki St. Yosef Ngawi
membeli lahan di Jl. Jaksa Agung Suprapto 6
Ngawi. Di
atas lahan itulah, dibangun gedung gereja, dan rumah pastoran. Berkat ketekunan
dan kerja keras seluruh umat Paroki St. Yosef Ngawi, pada 15 Desember 1977
gedung gereja dan pastoran diberkati oleh Mgr. Johanes Clooster, CM.
Gereja Paroki Santo Yosef Ngawi Sekarang
v PERKEMBANGAN WILAYAH NGAWI BARAT DAN TIMUR
Sejak sebelum resmi menjadi
Paroki, penggembalaan umat Katolik di Ngawi secara tidak langsung sudah
berjalan ‘pembagian’ antara Ngawi Barat dan Ngawi Timur. Mengingat begitu
luasnya wilayah reksa pastoral di Ngawi dan juga terbatasnya pelayan (pastor)
yang mendapat tugas di Ngawi maka Gereja Katolik Ngrambe menjadi “tempat”
istirahat para pastor yang sedang bertugas melayani umat di wilayah Ngawi
Barat. Tempat tinggal umat yang terpencar-pencar menjadi
alasan
pembangunan kapel-kapel stasi yang terpencar pula. Hal
ini terjadi demi pelayanan
pastoral yang semakin baik: efektif dan efisien karena jarak dan juga
waktunya semakin bisa diatur.